JAKARTA, WOL – Ketimpangan ekonomi terus terjadi akibat model ekonomi yang diterapkan tak lagi merujuk pada falsafah Pancasila. Pertumbuhan ekonomi yang terus dicanangkan tak pernah bisa dinikmati secara merata oleh 250 juta rakyat Indonesia.
Menurut anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan, mengutip laporan Bank Dunia, dalam 15 tahun terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dianggap kuat, ternyata tidak linear dengan pencapaian kesejahteraan.
“Pertumbuhan itu lebih dinikmati oleh 20 persen masyarakat terkaya. Sedangkan, 80 persen penduduk atau lebih dari 205 juta orang rawan tertinggal,” ungkap Heri.
Ketimpangan yang dimaksud Heri selama ini adalah ketimpangan peluang dan ketimpangan di pasar kerja. Apalagi, konsentrasi kekayaan ada pada satu kelompok paten. Potret ketimpangan tersebut secara spasial mudah terbaca dari struktur perekonomian Indonesia tahun 2015. “Perekonomian nasional masih didominasi oleh kelompok provinsi di Jawa dan Sumatera yang memberi kontribusi masing-masing 58,52 persen dan 23,88 persen terhadap PDB,” urai Heri.
Sebaliknya, sambung Heri, kelompok di luar Jawa masih minim, lantaran ada ketimpangan infrastruktur dan energi. Sementara itu, jelas Anggota F-Gerindra DPR ini, dari sisi struktur usaha tahun 2015, sektor-sektor strategis seperti pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan hanya menyumbang 15,4 persen atas PDB. Padahal, jumlah tenaga kerja di sektor-sektor itu masih dominan, di atas 50 persen.
Menurut Heri, penyebab semua itu adalah minimnya penguatan SDM, investasi, teknologi, dan modal. Mencermati kenyataan ini, tentu ada yang salah dalam pembangunan ekonomi nasional. “Ekonomi sekarang masih sentralistik, timpang, dan tidak bersumber dari aktivitas riil yang menjadi jatidiri bangsa Indonesia bertahun-tahun.”
Politisi dari dapil Jabar IV itu menyeru, agar peran negara dan swasta perlu ditata kembali. Peran keduanya penting dalam sistem ekonomi nasional. Namun, hendaknya negara dan swasta tidak berperan dominan yang menjerumuskan ekonomi nasional pada sistem liberal dan sistem komando. Negara dan swasta harus hidup beriringan, berdampingan secara damai dan saling mendukung.
“Pemerintah harus berani keluar dari jebakan model ekonomi liberal-kapitalistik itu. Model ekonomi yang hanya menghasilkan 1 persen orang yang berkuasa atas 50 persen kekayaan nasional,” tegas Heri lagi. Pemerintah diimbau Heri berani merevisi instrumen pengukuran ekonomi lewat PDB dan kembali ke khittah ekonomi Pancasila yang mengedepankan spiritkebersamaan dan gotong royong.
Saat ini, para ekonom dunia, lanjut politisi dari dapil Jabar IV itu, tak lagi meyakini PDB sebagai instrumen yang tepat untuk mengukur kesejahteraan. Ekonom Yoseph Stiglitz adalah salah satunya. Pemerintah sekali lagi harus berani kembali ke jalan yang benar dengan mengokohkan konsep ekonomi Pancasila yang mampu meningkatkan pelayanan umum dari level desa, kecamatan, hingga kabupaten. Ekonomi Pancasila mampu menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak.(hls/data2)
0 komentar:
Posting Komentar