VIVA.co.id – Pemerintahan Jokowi-JK saat ini dinilai telah melakukan kesalahan dalam menangani persoalan manajemen dalam pengelolaan hutang negara. Dengan menggunakan dana pinjaman darurat dari World Bank dan tidak di peruntukannya untuk penggunaan alokasi pinjaman Deferred Drawdown Option (DDO) sekitar US$ 5 billion, kini Indonesia dianggap tidak lagi memiliki DDO di World Bank.
“Karena telah dicairkan, yang seharusnya hanya boleh digunakan jika terjadi bencana alam ataupun krisis keuangan dan krisis ekonomi yang sangat parah di Indonesia. Hutang Indonesia meledak dalam setahun, sama jumlahnya dengan hutang total Indonesia selama dipimpin oleh seluruh Presiden Indonesia sejak Presiden Soekarno,” ujar Presiden Negarawan Center Johan O Silalahi, Rabu 16 Maret 2016.
Berdasarkan data dari Depkeu (Departemen Keuangan) periode Januari 2016, ia merasa sekitar 76 persen pendapatan pajak Indonesia habis dipergunakan hanya untuk membayar cicilan pokok hutang dan bunganya. “Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla tidak boleh mengikuti jalan yang salah dan sesat,” ujarnya.
Agresifnya pembangunan infrastruktur yang sedang dijalankannya, sangat berisiko membahayakan masa depan bangsa dan negara. Karena ikut dibiayai dengan hutang luar negeri jangka pendek dan menengah, katanya.
Lebih lanjut katanya, yang akan terjadi di depan mata adalah mismanajemen pengelolaan hutang negara. “Akibat semakin memburuknya ekonomi dunia yang tidak diantisipasi dengan baik, harga minyak yang semakin jatuh, pendapatan pajak yang meleset jauh dari target, serta berbagai kegagalan lainnya, maka diprediksi dalam 2-3 tahun kedepan Indonesia akan terjerat dalam jebakan hutang yang sangat besar,” ujarnya.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengatakan rencana pencairan WB bukan isapan jempol. Rencana itu menuai banyak kritik.
"Di setiap financing agreement pasti ada persyaratan untuk menarik atau mencairkan dana, syarat tersebut harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum World Bank ataupun ADB melakukan pembayaran atau transfer dana ke rekening pemerintah Indonesia," ujarnya.
Ia menambahkan, untuk wacana ini baiknya dikroscek kembali akurasi dari pendapat beberapa kalangan yang mencurigai adanya kekeliruan peruntukan dalam pencairan dana cadangan pinjaman darurat.
"Karena rencana itu aneh dan patut dipertanyakan. Berkali-kali pemerintah menegaskan bahwa saat ini tidak sedang terjadi krisis. Lalu, mengapa dana tersebut harus dicairkan? Untuk apa? Itu semua perlu diajukan pertanyaan dan jawaban yang jelas serta transparan," jelasnya.
Selain itu, menurut Heri dana yang dicairkan tidak sesuai peruntukannya itu harus direspon oleh institusi terkait seperti KPK. Kalau akhirnya, ada indikasi diskresi yang koruptif maka KPK harus ambil langkah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan status pinjaman, tambahnya maka pencairan dana itu akan semakin membebani APBN. Apalagi kita tahu persis bahwa utang kita terus menumpuk. Dengan dicairkannya dana yang tidak sesuai peruntukannya itu, maka pemerintah Jokowi-Kalla akan dianggap menjerumuskan bangsa ini ke dalam ketidakpastian keadaan, kata politisi Gerindra ini.
"Jika akhirnya dana tersebut dicairkan, maka kita tidak punya lagi dana taktis yang diperlukan sewaktu-waktu jika terjadi krisis atau bencana. Nampaknya ini miss-management pengelolaan negara yang tidak baik," katanya. (rin)
0 komentar:
Posting Komentar