VIVA.co.id - Pemerintah memastikan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung bakal digarap investor asal Cina. Pelaksanaan proyek yang ditaksir membutuhkan dana sekitar Rp60 triliun tersebut akan digelar dengan model kerja sama business to business (B to B) antara investor Cina dengan konssorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Terkait hal ini Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan memberikan tanggapan soal kerjasama ini. “Ada tiga pertanyaan mendasar yang harus dijawab pemerintah. Pertama kenapa harus Cina bukan Jepang? Mungkinkah, salah satu pertimbangannya karena pangsa pasar mobil Cina yang besar di Indonesia? Sebetulnya, dari sisi pengalaman dan teknologi, Jepang harusnya lebih unggul,” ujar Heri, di Senayan, Senin 5 Oktober 2015.
Lebih lanjut Ia menjelaskan, Jepang sudah menyelesaikan Feasibility Study (FS) terlebih dahulu. Kenapa tiba-tiba Cina yang dapat proyek tersebut? Bukankah keputusan strategis pemerintah sebaiknya tidak dilihat dari perspektif untuk rugi, tapi juga secara politik?.
Kedua, ujar Heri soal skema investasinya. Kalau bukan dari APBN langsung, PMN atau pinjaman, lalu lewat skema apa? Ini proyek infrastruktur jangka panjang yang punya resiko keuangan jangka panjang pada BUMN yang ditunjuk dalam konsorsium itu. “Apalagi dalam konsorsium itu, ada BUMN yang agenda prioritasnya bukan untuk infrastruktur transportasi,” ucap Heri.
Ketiga yang dipertanyakan Heri, sebagai investasi jangka panjang, tentu mempunyai dampak pada pendapatan negara dari konsorsium BUMN. “Apalagi kita tahu tugas BUMN bukan bisnis semata (business as usual), tapi juga ada tanggung jawab pelayanan publik, sehingga jangan sampai tugas-tugas prioritas konsorsium BUMN itu terbengkalai,”kata Heri.
“Karenanya, pemerintah harus memberi klarifikasi secara detil dan lengkap. Apalagi, makin kuat isu bahwa ada “barter proyek” disitu sebagai salah satu tukar-guling dengan pinjaman tiga bank BUMN sebelumnya, yaitu Mandiri, BRI dan BNI,” ujarnya.
Adapun BUMN yang akan terlibat dalam konsorsium tersebut meilputi PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga, PT Kereta Api Indonesia, serta PT Perkebunan Nusantara VIII. Sebelumnya pemerintah Jepang dan Cina saling bersaing untuk menggarap proyek kereta cepat dengan model G to G. Namun karena kondisi anggaran negara tidak memadai, pemerintah memilih model B to B yang dianggap lebih layak tanpa harus melibatkan investasi APBN langsung, PMN, maupun jaminan pinjaman.
0 komentar:
Posting Komentar