Soal RUU HPP, Hergun: Solusi Meningkatkan Penerimaan Pajak

 


Heri Gunawan
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Heri Gunawan (Hergun) sampaikan catatan terkait RUU HKPD yang mengatur perimbangan keuangan, termasuk batasan belanja pegawai. Foto: dokpri Hergun

JAKARTA – Fraksi Partai Gerindra pada DPR RI memandang bahwa Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau RUU HPP penting untuk dibahas kemudian disahkan menjadi undang-undang. Hal ini mengingat kunci kesuksesan pembangunan nasional yang mandiri dan berdikari adalah terpenuhinya penerimaan negara sebagai modal utama untuk melaksanakan pembangunan secara berkesinambungan.

Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Gerindra pada DPR RI Heri Gunawan menjelaskan, bahwa RUU ini disusun dengan memenuhi pertimbangan sebagai landasan filosofir, sosialogis dan yuridis. Yang pada intinya, sistem perpajakan adalah salah satu wujud kewajiban negara dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, keadilan dan pembangunan sosial.

“Dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian, juga diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan tax ratio. Antara lain dilakukan melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak,” jelas Heri Gunawan dalam keterangan tertulisnya kepada Radar Sukabumi, Rabu (6/10).

“Juga diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan cukai serta pengaturan mengenai pajak karbon dan kebijakan peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam satu Undang-Undang secara komprehensif,” sambungnya.

Lebih lanjut, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Gerindra pada DPR RI memberikan perhatian besar terhadap pembahasan RUU HPP. Ini mengingat kunci kesuksesan pembangunan nasional yang mandiri dan berdikari adalah terpenuhinya penerimaan negara sebagai modal utama untuk melaksanakan pembangunan secara berkesinambungan.
“Penerimaan perpajakan telah menjadi penerimaan negara terbesar sejak 1992 dengan kontribusi mencapai 47,4 persen dan meningkat pada 2020 menjadi sebesar 65,1 persen. Namun kontribusi tersebut belum cukup menutup pembiayaan pembangunan yang kian membesar,” papar pria yang akrab disapa Hergun.

Hadrinya Pandemi Covid-19 tak dipungkiri juga menjadi faktor yang sangat besar dalam memengaruhi turunnya penerimaan pajak dan rasio perpajakan. Namun Sejatinya, kondisi ini pun telah jauh lama terjadi sebelum pandemi.

Dalam kasus ini, Indonesia telah 12 tahun secara berturut-turut mengalami realisasi penerimaan pajak yang tidak memenuhi target alias shortfall pajak. Kali Terakhir penerimaan pajak mencapai target yakni pada tahun 2008, mencapai 106,7% atau terealisasi Rp 571 triliun dari target Rp 535 triliun dalam APBN. Dengan realisasi ini maka tercatat surplus sebesar Rp 36 triliun. “Namun, sejak 2009 hingga 2020, penerimaan pajak selalu meleset dari target,” tegas Ketua DPP Partai Gerindra ini.

Selain shortfall pajak, sambung Hergun, angka rasio perpajakan Indonesia sejak 2010 hingga 2020 juga cenderung mengalami penurunan dari 11,3 persen pada 2010 menjadi 9,8 persen pada 2019, dan pada 2020 turun lagi menjadi 8,3 persen. Rasio perpajakan Indonesia itu jauh di bawah rata-rata negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 34,3 persen. OECD mensinyalir rendahnya rasio perpajakan Indonesia disebabkan kepatuhan pajak yang buruk, insentif dan pengurangan tarif yang meluas, dan ditambah kecilnya orang pribadi yang membayar pajak penghasilan (PPh).

“Terjadinya pandemi Covid-19 makin memperparah kondisi keuangan negara. Defisit APBN yang tadinya dibatasi maksimal 3 persen diberi kelonggaran bisa melebihi di atas 3 persen selama 3 tahun, dari 2020 hingga 2022. Pelebaran defisit APBN secara otomatis menambah akumulasi utang,” jelas legislator Senayan asal Dapil Kota/Kabupaten Sukabumi.

Hergun menegaskan lagi pihaknya berpandangan bahwa RUU HPP merupakan skema reformasi perpajakan sebagai solusi meningkatkan penerimaan perpajakan, meningkatkan rasio perpajakan, mengurangi defisit APBN dan memperkecil rasio utang terhadap PDB. Sehingga perlu dipertegas bahwa reformasi perpajakan ini memiliki target jangka menengah dan jangka panjang.

Dalam tugas legislasi, Fraksi Partai Gerindra memperhatikan dengan sungguh-sungguh masukan dan aspirasi dari semua pihak. Bahwa ini demi kepentingan penguatan sistem perpajakan agar adil, sehat, efektif, dan akuntabel sehingga APBN semakin mandiri dan berkelanjutan. Di sisi lain, inipun demi kepentingan keseimbangan hak dan kewajiban antara otoritas dan wajib pajak, fairness, kemudahan administrasi, dan pentingnya menjaga kondusivitas iklim investasi usaha dan bisnis.

“Kami juga berkomitmen bahwa negara harus hadir memberi perlindungan kepada rakyat kecil. Berbagai aspirasi masyarakat, baik yang disampaikan kepada anggota kami di Komisi XI DPR RI, disampaikan langsung kepada fraksi kami, maupun yang disampaikan melalui media massa dan media sosial, menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan sikap Fraksi Partai Gerindra. Karena itu, ketentuan perpajakan yang dimasukkan dalam RUU ini telah dipertimbangkan secara seksama, dan terkait substansi yang menyasar rakyat kecil, kami mendorong untuk dihapus atau dikembalikan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku (existing),” ujarnya.

Hergun pun menjabarkan, berdasarkan hasil pembahasan soal RUU HPP, pihaknya menghasilkan delapan kesepakatan. Seperti Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Tarif PPh Orang Pribadi, pajak UMKM, penghapusan beberapa usulan, PPN, Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (P2SWP), cukai dan pajak karbon.

Soal pajak UMKM, kata Hergun, pihaknya berpendapat bahwa fasilitas diskon 50 persen untuk pelaku Wajib Pajak UMKM agar dipertahankan. Selain itu, Fraksi Partai Gerindra juga memutuskan untuk mengatur treshold peredaran bruto tidak kena pajak sebagai bentuk pemihakan nyata bagi Wajib Pajak UMKM.

Pihaknya juga mengusulkan penghapusan untuk lima kebijakan, di antaranya penerapan Alternative Minimum Tax (AMT), Instrumen Pencegahan Penghindaran Pajak atau GAAR (General Anti Avoidance Rule), Penerapan pajak terhadap warisan, hibah, dan dividen, Pengenaan pajak sembako, jasa pelayanan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pendidikan, jasa asuransi sosial, dan lain-lain dan Pengenaan PPN multitarif.

Terkait PPN, Fraksi Partai Gerindra DPR RI berkomitmen barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat banyak, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial dibebaskan dari pengenaan PPN. “Terkait PPN naik dari 10% ke 11% untuk barang dan jasa tertentu, menggunakan singgle tariff, dan berlaku terhitung 1 April 2022. Sedang tarif PPN sebesar 12% (dua belas persen) mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025,” jelas Hergun.

Untuk tarif pajak karbon yang ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan besaran tarif harga karbon di pasar karbon atau paling rendah Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Diberlakukannya pengenaan tarif untuk karbon, dimana Pengenaan pajak karbon memperhatikan peta jalan (roadmap) pajak karbon dan pasar karbon yang diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan persetujuan DPR. Fraksi Partai Gerindra DPR RI mendukung afirmasi pemberlakuan Pajak Karbon yang sangat penting dalam rangka merawat kualitas lingkungan hidup.

Komitmen Fraksi Partai Gerindra DPR RI dalam pembahasan RUU HPP adalah untuk mendorong penuntasan reformasi perpajakan, perluasan basis pajak, dan penguatan pondasi ekosistem perpajakan. “Karena itu, Fraksi Partai Gerindra DPR RI berharap setelah RUU HPP ini disahkan dapat menjadi solusi meningkatkan penerimaan perpajakan dan rasio perpajakan (tax ratio). Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka perlu dilakukan sosialisasi secara massif dan komprehensif agar ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam RUU ini dapat dipahami dan diterima semua kalangan,” pungkasnya.

Perlu diketahui bahwa RUU HPP embrionya adalah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang berada pada nomor urut 31 dalam Daftar Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021. Di dalamnya mengatur perubahan beberapa Undang-undang sekaligus, yakni UU KUP, UU PPh, UU PPN, UU Cukai, dan UU Pengampunan Pajak. Perubahan nama untuk RUU yang disusun dengan metode omnibus law itu dimaksudkan agar lebih tepat mencerminkan substansi, maksud dan tujuan pembentukan UU serta berazaskan keadilan, kesederhanaan, efisiensi, adanya kepastian hukum, kemanfaatan, dan demi kepentingan nasional. (izo)

0 komentar:

Posting Komentar