Jakarta – Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) resmi berganti menjadi Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) lewat rapat paripura DPR RI, Kamis (7/10) hari ini. Delapan fraksi menyatakan setuju soal perubahan nomenklatur nama RUU, termasuk Fraksi Partai Gerindra.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Gerindra pada DPR RI Heri Gunawan mengatakan, sistem perpajakan adalah salah satu wujud kewajiban negara dalam upaya meningkatkan kesejahteraan, keadilan dan pembangunan sosial.
“Dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian, juga diperlukan strategi konsolidasi fiskal yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan tax ratio. Antara lain dilakukan melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak,” jelas Heri Gunawan dalam keterangan tertulisnya kepada Radar Sukabumi.
“Juga diperlukan penyesuaian kebijakan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan cukai serta pengaturan mengenai pajak karbon dan kebijakan peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam satu Undang-Undang secara komprehensif,” sambungnya.
Lebih lanjut, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai Gerindra pada DPR RI memberikan perhatian besar terhadap pembahasan RUU HPP. Ini mengingat kunci kesuksesan pembangunan nasional yang mandiri dan berdikari adalah terpenuhinya penerimaan negara sebagai modal utama untuk melaksanakan pembangunan secara berkesinambungan.
“Penerimaan perpajakan telah menjadi penerimaan negara terbesar sejak 1992 dengan kontribusi mencapai 47,4 persen dan meningkat pada 2020 menjadi sebesar 65,1 persen. Namun kontribusi tersebut belum cukup menutup pembiayaan pembangunan yang kian membesar,” papar pria yang akrab disapa Hergun.
Hadirnya Pandemi Covid-19 tak dipungkiri juga menjadi faktor yang sangat besar dalam memengaruhi turunnya penerimaan pajak dan rasio perpajakan. Namun Sejatinya, kondisi ini pun telah jauh lama terjadi sebelum pandemi.
Dalam kasus ini, Indonesia telah 12 tahun secara berturut-turut mengalami realisasi penerimaan pajak yang tidak memenuhi target alias shortfall pajak. Kali Terakhir penerimaan pajak mencapai target yakni pada tahun 2008, mencapai 106,7% atau terealisasi Rp 571 triliun dari target Rp 535 triliun dalam APBN. Dengan realisasi ini maka tercatat surplus sebesar Rp 36 triliun. “Namun, sejak 2009 hingga 2020, penerimaan pajak selalu meleset dari target,” tegas Ketua DPP Partai Gerindra ini.
Selain shortfall pajak, sambung Hergun, angka rasio perpajakan Indonesia sejak 2010 hingga 2020 juga cenderung mengalami penurunan dari 11,3 persen pada 2010 menjadi 9,8 persen pada 2019, dan pada 2020 turun lagi menjadi 8,3 persen. Rasio perpajakan Indonesia itu jauh di bawah rata-rata negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 34,3 persen. OECD mensinyalir rendahnya rasio perpajakan Indonesia disebabkan kepatuhan pajak yang buruk, insentif dan pengurangan tarif yang meluas, dan ditambah kecilnya orang pribadi yang membayar pajak penghasilan (PPh).
0 komentar:
Posting Komentar